Sabtu, 25 Februari 2012

Ketika Kreativitas Lebih Penting Dari Kecerdasan



kreatif 300x225 Ketika Kreativitas Lebih Penting Dari Kecerdasan
Di tahun itu, sekitar 400 anak-anak di Minneapolis mengikuti sebuah tes yang dirancang oleh profesor E. Paul Torrance. Tes ini khusus dirancang untuk menguji kreativitas. Sebagai contoh, anak-anak akan diberi mainan mobil pemadam kebakaran dan diminta memikirkan cara-cara mengembangkan mainan tersebut sehingga lebih baik dan lebih menyenangkan untuk dimainkan. Anak-anak yang kreatif akan menambahkan fitur-fitur seperti pegas pada roda agar mobil bisa melompat-lompat; atau tangga yang portabel dan bisa dikonfigurasi bentuknya sesuai kehendak.

Anak-anak yang pernah mengikuti sesi di atas ditelusuri perkembangannya sampai mereka dewasa. Semua ukuran keberhasilan mereka dicatat seperti jumlah hak paten yang berhasil diperoleh, bisnis yang didirikan, karya tulis ilmiah yang dipublikasikan, beasiswa atau dana riset yang diperoleh, jumlah buku atau perangkat lunak yang ditulis, acara-acara radio dan TV, pameran seni, bangunan yang dirancang. Pokoknya, hampir semuanya.
Hasilnya?
Lima puluh tahun setelah tes tersebut dilakukan, Garnet Millar yang melanjutkan penelitian profesor Torrance, menemukan bahwa anak-anak yang mendapatkan nilai tinggi dalam tes tersebut memiliki pencapaian hidup yang lebih baik dibanding rekan-rekan mereka yang lain. Lebih banyak dari mereka yang menjadi pengusaha sukses, pemimpin, wiraswasta, penemu, dan bidang-bidang lainnya yang membutuhkan kreativitas. Menariknya lagi, hasil tes Torrance ternyata tiga kali lebih akurat dibanding tes IQ  dalam memprediksikan keberhasilan mereka. Sederhananya, kecerdasan kreativitas (CQ-Creativity Quotient) ternyata lebih penting ari IQ.
Pentingnya CQ sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, apalagi di jaman yang serba kompleks ini. Sebagai pemimpin, Anda diharuskan mampu menyelesaikan berbagai konflik kepentingan. Sebagai pengusaha, Anda harus berpikir bagaimana mengatasi persaingan yang kian ketat. Sebagai politisi, kepentingan berbagai pihak harus diakomodasi untuk mencapai solusi win-win dengan tetap berpegang pada hukum. Karir-karir di jaman ini juga semakin banyak melibatkan sisi kreatif dan artistik.
Namun ada satu cerita menarik lagi dari tes Torrance ini:
Tes Torrance yang mulai populer ini sudah diberikan kepada jutaan anak-anak di puluhan negara (salah satu penyelenggara di Indonesia adalah Fakultas Psikologi UI). Namun terdapat perbedaan antara hasil tes IQ dan EQ bila dilihat dari skala waktu. Hasil tes IQ selalu mengalami peningkatan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Para ahli sependapat hal itu dikarenakan faktor gizi yang lebih baik dan lebih banyaknya stimulus yang diterima anak yang lahir di generasi sekarang. Tetapi untuk CQ, kecenderungan seperti itu tidak kelihatan. Hasilnya bisa naik, bisa turun. Di beberapa negara seperti AS, nilai CQ generasi sekarang malah lebih rendah dari 50 tahun lalu!
Majalah Newsweek menyebutnya sebagai Krisis Kreativitas! (Tentu yang dimaksud majalah tersebut adalah krisis di AS, namun setelah membaca artikel ini, saya yakin Anda akan sependapat kondisi kita di Indonesia tidak jauh lebih baik.)
Jadi di saat yang sama kita menyadari pentingnya kreativitas untuk sukses pribadi dan daya saing bangsa, kita justru mengalami krisis tersebut.
Pertanyaannya sekarang tentu saja: Kenapa bisa begitu?
Ada beberapa alasan, dan Anda cukup melihat sekeliling untuk menyadari kebenarannya. Pertama, karena kehadiran para penjaga anak-anak modern yang selalu siap siaga menemani anak kita 24 jam. Ya, siapa lagi yang kita bicarakan kalau bukan pesawat televisi dan video games? Kehadiran mereka memang membuat hidup para orang tua semakin mudah, namun itu berarti kurangnya waktu bagi anak-anak untuk terlibat dalam permainan yang lebih kreatif seperti membangun istana dari tanah, atau sekedar mengumpulkan berbagai jenis dedaunan. Mainan yang melibatkan role playing seperti menjadi masinis kereta api; atau yang membutuhkan bongkar pasang seperti Lego juga semakin ditinggalkan. TV dan video games juga bukan permainan yang melibatkan interaksi sosial yang dibutuhkan anak-anak untuk belajar melihat dari perspektif orang lain yang berbeda, suatu hal yang dibutuhkan untuk berpikir kreatif.
Alasan berikutnya? Sekolah!
Ya, benar, institusi yang kita butuhkan untuk mendidik anak-anak kita agar menjadi cerdas justru bisa menjadi salah satu penghalang. Lihatlah bagaimana kebanyakan sekolah mengajar anak-anak kita. Mereka ditaruh dalam ruangan, disuruh membaca dan menulis; dan semuanya dilakukan dalam keseragaman. Anak-anak yang masuk dengan sejuta tanda tanya dan sejuta kemungkinan jawaban, keluar dengan hapalan sebuah jawaban tunggal yang sudah diresepkan para guru. Anak-anak yang masuk sebagai pribadi unik, keluar sebagai produk masal. Sekolah merecoki anak-anak dengan hapalan tanpa pemahaman. (Menariknya, Cina sudah mulai keluar dari sistem pendidikan ini. Nilai untuk setiap mata pelajaran sudah mulai dianggap tidak penting. Jauh lebih penting adalah mengenali bakat setiap anak sedini mungkin dan mengarahkan mereka memenuhi potensinya. Tidak heran Cina mengalami peningkatan pesat di bidang ekonomi, teknologi dan olah raga.)
Tentu tidak semua sekolah demikian, tetapi kita membicarakan mayoritas sekolah. Dan tentu saja tidak berarti memasukkan anak-anak tercinta kita untuk menempuh pendidikan di sekolah adalah langkah yang salah. Kita jelas membutuhkan sekolah karena institusi ini mampu memberikan pendidikan dengan cara lebih efisien dan sistematis. Tetapi yang kita inginkan adalah sekolah yang memasukkan lebih banyak unsur-unsur pembentuk kreativitas anak. Bila tidak, lulusan dari sekolah yang membentuk pola pikir seragam adalah produk masal yang terancam menjadi komoditas. Bila kita ingin memiliki lulusan yang menonjol dan mampu mencipta sesuatu yang baru, kita membutuhkan lulusan-lulusan yang kreatif.
Banyak juga faktor yang membuat sekolah-sekolah yang memiliki keinginan seperti itu tidak bisa mewujudkannya. Selama pemerintah masih mementingkan hasil ujian nasional, semua sekolah dipastikan akan berfokus pada nilai ujian tersebut. Bagaimanapun hasil ujian nasional tersebut adalah pengukur keberhasilan sekolah. Selain itu, kecilnya gaji pendidik menyulitkan sekolah mendapatkan pengajar yang berkualitas.
Namun bukan berarti hal tersebut bisa disiasati, tentunya dengan sedikit kreativitas dari penyelenggara pendidikan. Pendidikan kreativitas ternyata dengan mudah bisa diintegrasikan dengan kurikulum standar, seperti contoh yang diberikan Newsweek berikut ini:
Di National Inventors Hall of Fame School, sebuah sekolah baru di Akron, Ohio, murid-murid kelas lima diberi tugas: cari cara untuk mengurangi kebisingan di perpustakaan. Jendela perpustakaan tersebut menghadap ke tempat umum. Walau jendela ditutup, suara dari keramaian tetap masuk. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok dan diberi waktu empat minggu untuk membuat proposal.
Selamat empat minggu tersebut, anak-anak dibimbing cara-cara untuk mengumpulkan fakta. Bagaimana caranya suara merambat melalui benda yang berbeda? Apa hukum fisika yang berlaku? Benda atau materi apa yang bisa mengurangi suara? Kemudian mereka diajarkan melakukan brainstorming untuk menghasilkan ide-ide sebanyak mungkin. Semua kemungkinan ditelusuri. Bagaimana bila solusinya bukannya menghilangkan suara, tetapi mengalihkan perhatian pengunjung ke suara lain yang lebih menyenangkan seperti air mancur di dalam ruangan? Bagaimana bila dibuat dua dinding kaca yang diisi air untuk meredam suara? Bagaimana bila panel gelas tersebut diganti dengan akuarium berisi ikan hias? Tentu tidak semua solusi masuk akal atau bisa dijalankan. Karena itu tahapan berikutnya adalah menyaring ide-ide tersebut sesuai kriteria yang sudah ditentukan. Mana solusi yang paling murah? Yang paling mudah diaplikasikan? Yang indah dipandang mata? Bagaimana pula dengan perawatannya nanti?
Kemudian kelompok anak-anak tersebut mengembangkan rencana implementasi. Mereka membangun model-model kecil dan memilih contoh bahan. Dalam proses itu, mereka harus bernegosiasi dengan pihak-pihak lain seperti janitor. Kadang beberapa kelompok saling bekerja sama dan menggabungkan proyek mereka. Terakhir mereka mempresentasikan proposal mereka di hadapan para guru dan orang tua.
Kita bisa melihat bagaimana anak-anak melewati tahapan-tahapan yang sama dengan apa yang kita lakukan di dunia nyata. Mereka tidak belajar fakta semata-mata, tetapi juga cara mengembangkan ide dan bernegosiasi dengan pihak-pihak lain. Dan semuanya dijalankan dalam kerangka kurikulum nasional. Mereka tetap belajar matematika (menghitung biaya dan mencari kombinasi solusi yang paling murah), fisika (bagaimana suara merambat), bahasa (menulis laporan ilmiah), presentasi, IPS dan budi pekerti (negosiasi, kerja dalam kelompok). Tidak pernah sebelumnya mereka begitu semangat belajar karena mereka bisa melihat bagaimana hasil pelajaran tersebut diaplikasikan dalam dunia nyata. Tidak ada lagi siswa yang bertanya “Mengapa aku perlu belajar ini dan itu?” Mereka sudah tahu mereka belajar untuk apa.
Hasilnya? Jangan ditanyakan lagi. Meski bukan sekolah elit dan hampir setengah siswanya hidup dalam kemiskinan, sekolah ini berhasil meraih posisi tiga besar dalam hasil ujian nasional di wilayah Akron.
Alasan berikutnya? Orang tua! Malah, orang tua memengang peranan yang sangat besar. Ingat: kitalah, para orang tua, yang meletakkan video games ke tangan mereka (OK, jika Anda terpaksa memberikan mereka video games, setidaknya ajari mereka permainan Tetris atau sejenisnya yang telah terbukti melatih otak.) Takut anak-anak kita ketinggalan, kita memasukkan mereka ke les-les yang tak kunjung habis; dan menyisakan mereka sedikit waktu untuk bermain dan bereksplorasi. Daripada memasukkan anak-anak ke banyak les yang redundan dengan pelajaran di sekolah, ada baiknya berikan lebih banyak waktu bagi mereka melakukan permainan yang kreatif seperti Lego atau bermain tebak-tebakan atau permainan lama hide-and-seek. Bila Anda ingin memberi les tambahan, bagaimana bila mereka dimasukkan ke kelas-kelas seni seperti menggambar, drama, atau musik? (Tentu lebih baik lagi bila mereka menyukainya. Kalau mereka tidak suka, tidak baik memaksa juga.) Atau, ketika anak Anda bertanya, “Mengapa bisa begini?”, jangan langsung menjawab. Balikkanlah pertanyaan tersebut kepadanya dan minta dia memikirkan alternatif jawabannya. Yang lebih penting, jangan mematikan rasa ingin tahu mereka ketika mereka bertanya “Mengapa? Mengapa? Mengapa?” dengan pandangan yang seolah-olah mengatakan “Diam! Tidakkah kamu melihat papa/mama lagi sibuk?” (Pengakuan: saya sendiri sering melakukan hal tidak terpuji ini terhadap anakku. Maafkan saya, nak.)
Harapan kita tentu saja, akan semakin banyak orang-orang di Indonesia yang menyadari pentingnya CQ ini. Secara pribadi, saya sangat berharap adanya sekolah yang memberi kesempatan pada anak-anak untuk melakukan proyek-proyek seperti contoh di atas; dan semakin banyak orang tua yang menyadari pentingnya menjaga kreativitas anak mereka (saya katakan ‘menjaga kreativitas’ karena anak-anak kecil sebenarnya sudah sangat kreatif sampai kita mematikannya atas nama cinta.)
Bagaimana dengan Anda sendiri? Sudahkah Anda menempatkan pendidikan kreativitas anak Anda sebagai prioritas penting? (sumber : edukasi.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar